Rabu, 23 Oktober 2013

Budaya Ngutang

Budaya konsumtif dan budaya berhutang adalah dua “penyakit” yang kini kian akut menjangkiti konsumen kelas menengah kita. Keduanya bak percik-percik api dan bulir-bulir cairan bensin yang bisa menyulut kebakaran hebat saat bertemu. Klop betul. Tak hanya itu, keduanya juga seperti layaknya virus flu burung yang menjalar begitu cepat dari satu orang ke orang lain secara massif.


Semuanya diawali saat daya beli kelas menengah kita meningkat pesat. Ketika daya meningkat, maka hasrat untuk mengumbar nafsu konsumsi meroket: memborong barang diskon, membeli gadget, makan enak di mal, liburan ke Singapura, hingga memanjakan badan di spa. Celakanya konsumsi yang membara itu dibiayai dengan hutang. Bisa karena memang tak punya duit, atau punya duit tapi sudah terlanjur kecanduan berhutang. So, the show must go on. Dan gampang ditebak, senjata pamungkasnya adalah kartu kredit atau layanan kredit konsumsi. Pokoknya main hantam kromo: beli dulu, bayarnya belakangan.

Itulah kesan umum yang saya tangkap dari survei yang saya lakukan bersama tim di CMCS (Center for Middle-Class Consumer Studies) beberapa waktu lalu. Survei ini dilakukan di 6 kota utama Tanah Air (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Medan, Makassar) dengan jumlah total responden konsumen kelas menengah sebanyak 1532 orang. Survei ini dituangkan dalam sebuah laporan berjudul: Indonesia Middle Class Banking Consumer Report: “Getting Cashless and Mobile”

Buy Now, Pay Later
Ketika saya menanyakan kepada responden apakah membeli produk dengan cara berhutang dan mencicil itu baik atau buruk, maka jawaban yang saya dapat sungguh mencengangkan. Sekitar 77% dari total responden mengatakan baik, 10% baik sekali, dan 2% sangat baik sekali. Jadi total jendral 89% dari mereka mengatakan bahwa berhutang/menyicil itu baik hingga sangat baik sekali. Hanya minoritas (sekitar 10%) dari mereka yang mengatakan bahwa berhutang/menyicil itu buruk. Wow!!!

Kegandrungan konsumen kelas menengah kita dalam berhutang juga tercermin dari kepemilikan atas produk-produk perbankan saat ini. Seperti tampak pada bagan, kepemilikan atas layanan kredit kendaraan bermotor (KKB) dan kartu kredit menempati posisi kedua dan ketiga setelah produk tabungan. Angkanya pun cukup besar, yaitu masing-masing 56% dan 41% dari seluruh respoden. Walapun berada di posisi kelima, kepemilikan atas kredit kepemilikan rumah (KPR) juga cukup besar sekitar 28%.

Yang menarik adalah kalau secara khusus kita lihat, produk apa saja yang paling banyak mereka beli dengan menggunakan kartu kredit. Di urutan pertama adalah produk-produk rumah tangga seperti kulkas atau AC (lebih dari 32%); perangkat elektronik seperti TV, HiFi, atau home theatre (23%); furniture (11%), baru kemudian disusul smartphone dan notebook . Melihat komposisi ini, tersirat bahwa ibu sebagai “menteri keuangan” di dalam keluarga menempati posisi dominan sebagai pemegang keputusan pembelian.


Kelonggaran Finansial
Kalau konsumen kelas menengah kita sudah kerasukan penyakit ngutang semacam ini, pertanyaannya kemudian adalah: positifkah ini? Tergantung. Bisa positif, bisa negatif. Positif kalau kita bisa mengelolanya dengan baik. Negatif jika kita salah urus dalam mengatur keuangan di tengah risiko gagal bayar alias default.

Konsumen yang sudah kecanduan ngutang umumnya selalu merasakan adanya “kelonggaran finansial” berkat adanya fasilitas kredit konsumsi yang selama ini mereka nikmati. Mereka akan selalu memiliki perasaan (baca: obsesi) bahwa duit akan selalu tersedia untuk memenuhi dan melepaskan nafsu konsumsi yang selalu tak kuasa mereka tahan. Perasaan kelonggaran inilah yang menjadi biang tumbuh suburnya perilaku konsumtifisme yang terus berpusar kian dalam.

Ketika konsumtifisme ini menjadi-jadi hingga ke suatu titik dimana kemampuan keuangan mereka sudah tidak mampu lagi menopangnya, maka bahaya default menganga di depan mata. Namun celakanya, perasaan kelonggaran finansial di atas seringkali membutakan mata mereka akan biaya default tersebut. Akibatnya, default pun tak terhindarkan lagi.

Pertumbuhan pesat kelompok konsumen kelas menengah di Brasil misalnya, serta-merta diikuti dengan maraknya gaya hidup konsumtifisme yang difasilitasi ole kredit konsumsi dari bank. Hal inilah yang kemudian memicu maraknya konsumen kelas menengah di negara tersebut yang terjebak default.

Itu skenario buruknya. Kalau si konsumen mampu mengelola hutangnya dengan baik dengan terus menyelaraskan laju konsumsi sesuai dengan kemampuan keuangan yang dimiliki, maka hal tersebut tentu akan baik-baik saja. Perlu diingat Indonesia adalah consumption-driven economy di mana konsumsi masyarakat memegang peran sangat siknifikan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi kita.

Saya sering mengatakan bahwa salah satu ciri konsumen kelas menengah kita adalah knowledgeable, berpengetahuan, berwawasan, dan melek informasi. Nah, kabar gembira ditunjukkan oleh hasil riset saya yang lain. Ketika ditanya, apakah mereka memiliki perencanaan keuangan (financial planning) dalam mengelola kuangan? Jawabnya tak kalah mencengangkan, 86% responden mengatakan “ya”. Blog Detik

0 komentar:

Posting Komentar