Tampilkan postingan dengan label Etika Profesi Akuntansi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Etika Profesi Akuntansi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Januari 2014

Proposal Skripsi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Masalah umum yang sering dihadapi negara berkembang seperti Indonesia adalah inflasi. Di Indonesia, laju inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen sampai tahun 2005 selalu lebih dari 5% kecuali pada tahun 1985 sebesar 4,3%. Bahkan empat tahun terakhir dari tahun 2003 sampai dengan 2006 besarnya adalah 6,8%, 6,06%, 10,4% dan 14,8%. Ini menunjukkan adanya kenaikan harga barang dan jasa secara langsung dipengaruhi oleh perubahan daya beli masyarakat dan perubahan biaya produksi atau fator-faktor produksi. Walaupun angka inflasi tersebut dibawah dua digit, namun inflasi di atas 5% saja sudah cukup tinggi, apalagi bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan pendapatan nasional dan penduduk. 

Secara umum Laporan Keuangan disusun berdasarkan nilai historis (historical cost accounting). Dengan prinsip ini laporan keuangan disusun menggunakan harga-harga yang timbul dari transaksi. Sebagai alat pengukur/pertukaran di dalam perekonomian digunakan satuan unit moneter. Kondisi inflasi menyebabkan satuan unit moneter menjadi tidak stabil. Sehingga penyusunan laporan keuangan berdasarkan nilai historis tidak mencerminkan adanya perubahan daya beli. 

Oleh karena itu muncul ide menggunakan model akuntansi bukan historis lainnya seperti current value accounting, replacement value accounting, net realizable value accounting yang berbeda dari akuntansi biaya historis. Dalam akuntansi inflasi dapat digunakan dua alternative pengukuran, yaitu bisa dengan metode akuntansi saat ini atau dengan metode tingkat harga umum.

Metode akuntansi nilai saat ini mencerminkan perubahan-perubahan yang terjadi pada tingkat harga khusus, tingkat harga umum mencerminkan perubahan-perubahan yang terjadi pada tingkat harga umum.   Metode tingkat harga umum dinyatakan pada postulat satuan moneter yang stabil.  Motode ini menyesuaikan laporan keuangan di masa inflasi dengan penyajian kembali laporan keuangan biaya historis yang dibuat sesuai dengan tingkat daya beli umum. Dengan menyajikan kembali laporan keuangan (akuntansi biaya historis) yang dibuat sesuai dengan tingkat daya beli umum, maka akan tersusun laporan keuangan yang bisa relevan dan sesuai dengan kenyataan di lapangan, khususnya pada masa inflasi.


Perusahaan Hanjaya Mandala Sampoerna merupakan perusahaan rokok terkemuka dan salah satu tertua di Indonesia. Sejarah dan sukses Sampoerna tidak dapat dipisahkan dari sejarah keluarga Sampoerna sebagai pendirinya. Pada tanggal 18 Mei 2005, PT HM Sampoerna melakukan akuisisi dengan Philip Morns Internasional sebagai salah satu perusahaan rokok terbesar di dunia. Pada akhir tahun 2010, jumlah karyawan PT HM Sampoerna dan anak perusahaannya mencapai sekitar 27.600 orang. Perseroan mengoperasikan enam pabrik rokok di Indonesia. Selain hal tersebut, PT HM Sampoerna mendirikan Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna (PPK Sampoerna) yang merupakan wujud komitmen perusahaan untuk mengembangkan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan membantu menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan kesejahteraan perekonomian setempat.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul "PENERAPAN GENERAL PRICE LEVEL ACCOUNTING (GPLA) TERHADAP LAPORAN KEUANGAN PADA PT HM. SAMPOERNA Tbk PERIODE 2010"

1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana kewajaran laporan keuangan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk periode 31 Desember 2010 setelah disesuaikan dengan menggunakan metode General Price Level Accounting (GPLA).

1.3 Batasan Masalah
Pada penulisan ini penulis membatasi masalah yaitu hanya menganalisa pengaruh akuntansi inflasi metode tingkat harga secara umum pada laporan keuangan PT HM. Sampoerna Tbk yaitu Laporan Keuangan Neraca dan Laba Rugi periode Desember 2010. Asumsi peneliti menggunakan metoda tingkat harga umum adalah di samping kendala perolehan data, peneliti berasumsi bahwa dengan menggunakan metoda tingkat harga umum, nilai harta, hutang dan modal yang terpengaruh oleh perubahan harga disesuaikan dengan faktor indeks harga, sehingga dinyatakan dengan nilai uang yang sama.

1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah untuk meganalisa kewajaran dan membandingkan penyajian laporan keuangan PT HM. Sampoerna Tbk periode 31 Desember 2010 berdasarkan metode General Price Level Accounting (GPLA).

1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:
  1. Manfaat akademis, yaitu: sebagai referensi bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian sejenis ataupun memperdalam penelitian ini.
  2. Manfaat Praktis, yaitu untuk sebagai bahan pertimangan perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan non-konvensional.
1.6 Kerangka Pemikiran 
Laporan keuangan yang didasarkan pada nilai historis (historical cost accounting) yaitu menggunakan harga pada saat transaksi dan menganggap bahwa harga-harga akan stabil. Laporan keuangan yang disusun berdasarkan tingkat harga umum (general price level accounting) yang mampu memberikan gambaran keadaan yang sebenarnya atau tidak, mendekati keadaan yang sebenarnya dan juga mampu memberikan nilai sesungguhnya dari rupiah (daya beli rupiah).

Penelitian yang dilakukan oleh Kery Soetjipto (2000) dan Iven Susanto dan Ivonne Moniaga F. P (2002) memberikan kesimpulan bahwa adanya perbedaan antara nilai historis (historical cost accounting) dengan nilai berdasarkan tingkat harga umum. Namun, dan keduanya juga didapatkan adanya perbedaan dalam hal perlu tidaknya dilakukan penyesuaian laporan keuangan berdasarkan tingkat harga umum. 


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Akuntansi Inflasi 
2.1.1 Pengertian Akuntansi Inflasi 
Banyak studi mengenai inflasi di Negara-negara berkembang, menunjukkan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri misalnya memburuknya term of trade, utang luar negeri dan kurs valuta asing dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. 

Menurut Naim (2001:7) Akuntansi Inflasi merupakan suatu proses akuntansi untuk menghasilkan informasi yang telah memperhitungkan tingkat perubahan harga, sehingga informasi yang dihasilkan menunjukkan ukuran satu mata uang dengan tingkat harga yang berlaku. Ada beberapa pendekatan untuk menyajikan informasi tersebut antara lain pendekatan harga umum (general price level), pendekatan biaya berlaku (current cost), dan gabungan kedua pendekatan tersebut. 

General Price Level Accounting atau dikenal sebagai akuntansi tingkat harga umum menyatakan bahwa nilai sesungguhnya dari rupiah ditentukan oleh barang atau jasa yang diperoleh, yang biasa disebut daya beli. Akuntansi tingkat harga umum akan mengadakan penyajian kembali komponen-komponen laporan keuangan kedalam rupiah pada tingkat daya beli yang sama, namun sama sekali tidak mengubah prinsip-prinsip akuntansi yang digunakan dalam akuntansi berdasarkan nilai historis. Akuntansi penyusutan saat ini merupakan suatu upaya untuk menyediakan lebih realistis nilai buku dengan menilai asset sebesar biaya pengganti saat ini, bukan jumlah yang harus dibayar. Biaya saati ini (current cost) biasanya dihitung dengan menyesuaikan nilai historis untuk masa inflasi, selain penyesuaian seperti penyusutan. 

2.1.2 Pelaporan Keuangan dan Perubahan Harga
Laporan keuangan yang disajikan oleh proses akuntansi keuangan (menurut Standar Akuntansi Keuangan) adalah bersifat umum. Laporan keuangan yang didasarkan pada prinsip harga perolehan (cost) historis yang mengasumsikan bahwa harga-harga (unit moneter) adalah stabil. Ada dua persoalan yang dihadapi oleh akuntansi yang mendasarkan pada historical cost pada saat terjadi inflasi, yaitu:
  1. Persoalan Penilaian (Valuation Problem) Nilai aktiva individual akan berubah jika dibandingkan dengan aktiva lain, merupakan daya beli uang tidak berubah. Dapat juga perubahan itu disesabkan oleh perubahan persepsi orang terhadap manfaat barang tertentu akan berubah, sehingga akan mempengaruhi nilai barang tersebut.
  2. Persoalan Unit Pengukur (Measurement Unit Problem) Karena adanya inflasi, daya beli berubah sehingga unit moneter sebagai pengukur nilai tidak bersifat homogen lagi jika dikaitkan dengan waktu. 
Pada kenyataannya, harga selalu berubah, cenderung semakin naik atau yang disebut dengan inflasi. Sehingga tanah yang dibeli atau diperoleh tahun 2000 sebesar Rp 100.000.000,00 tidak sama nilainya dengan tahun 2008. Melihat keadaan seperti ini profesi akuntansi mengganggap bahwa dalam penentuan nilai aktiva dengan mengakumulasi harga perolehan aktiva pada waktu yang berbeda kurang tepat, karena harga perolehan aktiva tersebut tidak dapat diperbandingkan, sehingga diperlukan adanya penyesuaian untuk menyatakan nilai perolehan aktiva tersebut menurut nilai uang yang konstan agar dapat diperbandingkan.

2.1.3 Pendekatan Akuntansi Inflasi
Menurut Sari (2009) untuk menyelesaikan masalah dalam melakukan penyajian informasi keuangan berkaitan dengan adanya perubahan harga ini. Ada beberapa konsep penyajian informasi keuangan, yaitu:
  1. Konsep Akuntansi Nilai Uang Konstan
  2. Konsep Harga Perolehan Sekarang (Current Cost Accounting)
  3. Konsep Gabungan Harga Perolehan Sekarang dan Nilai uang Konstan
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil pendekatan Akuntansi Inflasi Konsep Akuntansi Nilai uang Konstan dengan menggunakan Metode Tingkat Harga Umum (General Price Level Accounting).

2.1.4 Konsep Akuntansi Tingkat Harga Umum 
Menurut Sari (2009) tujuan konsep ini adalah menyajikan informasi tentang akibat perubahan harga terhadap suatu usaha perusahaan, informasi seperti ini berguna bagi manajemen dalam melakukan penilaian terhadap kemuajan usaha perusahaan karena unit moneter yang tercantum dalam laporan keuangan merupakan unit moneer yang mempunyai daya beli sama. Akuntansi tingkat harga umum akan mengadakan enyajian kembali komponen-komponen laporan keuangan ke dalam rupiah pada tingkat daya beli yang sama, namun sama sekali tidak mengubah prinsip-prinsip akuntansi yang digunakan dalam akuntansi berdasarkan nilai historis. 

Penyesuaian atas besaran keuangan untuk inflasi guna mencerminkan nilai hrga umum atau tingkat harga umum dan penggunaan nilai yang telah disesuaikan tersebut dalam akuntansi dengan menggunakan indeks harga. Indeks harga yang biasa digunakan adalah indeks harga konsumen, yaitu suatu indeks yang menyajikan perubahan periodik dalam biaya kelompok barang-barang terpilih yang dibeli konsumen yang digunakan sebagai ukuran inflasi.

Dalam penyusunan berdasarkan tingkat harga umum perlu diperhatikan pos-pos yang akan terpengaruh dengan adanya penurunan daya beli rupiah, yaitu:
  1. Monetary Assets, seperti kas ditangan, surat-surat berharga, piutang dan lain-lain yang sifatnya sebagai dormant account akan mengalami penurunan daya beli secara berarti karena rekening-rekening tersebut tidak dapat lagi dinilai.
  2. Non Monetary Assets, secara rill tidak mengalami penurunan daya eli, tetapi dari sudut akuntansi merupakan pos yang terkena pengaruh penurunan harga beli, tetapi dari sudut akuntansi merupakan pos yang terkena pengaruh penurunan harga beli.
  3. Assents dalam bentuk valuta asing tidak dipengaruhi oleh penurunan daya beli rupiah karena dapat dinilai dengan kurs yang terakhir.
2.1.5 Metode Penyajian Nilai Aktiva Menurut Konsep Harga Konstan
Tahap-tahap untuk menyajikan nilai aktiva menurut nilai sekarang (Current Cost), adalah sebagai berikut:
  1. Mendapatkan laporan keuangan yang disusun berdasarkan harga perolehan historis.
  2. Menentukan dan mendapatkan satu indeks tingkat harga umum yang akan digunakan penyesuaian. 
  3. Mengklasifikasikan pos-pos dalam laporan keuangan menurut pos-pos moneter dan pos-pos non moneter.
  4. Menyesuaikan pos-pos non-moneter dengan faktor konversi indeks harga, untuk menyatakan nilai aktiva dengan nilai uang menurut harga yang berlaku sekarang.
  5. Menghitung keuntungan dan kerugian tingkat daya beli umum (tingkat harga umum) yang muncul dari kepemilikan atas pos-pos moneter.
2.1.6 Perlakuan Terhadap Pos-pos Moneter
Pos-pos moneter, seperti telah disebutkan diatas, merupakan pos-pos yang jumlahnya tetap, dan nilainya tidak terpengaruh oleh perubahan nilai uang mata uang karena ditentukan oleh kntrak. Meskipun jumlah-jumlah ini tetap, nilai dari pos-pos moneter dilihat dari segi daya beli mengalami perubahan. Pemilik pos-pos moneter, karenanya mengalami keuntungan atau kerugian daya beli karena terjadi perubahan pada tingkat harga umum. Keuntungan dan kerugian seperti ini disebut keuntungan atau kerugian tingkat daya beli umum, atau keuntungan tingkat harga umum atau kerugian akibat pos-pos moneter. Lebih khusus lagi, selama periode harga-harga mengalami kenaikan:
  • Aktiva moneter kehilangan daya beli, yang akan diakui sebagai suatu kerugian tingkat harga umum.
  • Kewajiban moneer mendapatkan daya beli, yang diakui sebagai suatu keuntungan tingkat harga umum.
Selama periode di mana harga-harga mengalami penurunan:
  • Aktiva moneter mendapatkan daya beli yang diakui sebagai suatu keuntungan tingkat harga umum.
  • Kewajiban moneter kehilangan daya beli, yang diakui sebagai suatu kerugian tingkat harga umum. 
Laba atau rugi tingkat harga umum dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:
  1. Menghitung posisi aktiva moneter netto pada awal periode
  2. Menyatakan kembali aktiva moneter netto pada awal periode menurut harga mata uang pada akhir periode.
  3. Menyetakan kembali penerimaan-penerimaan yang bersifat moneter selama satu periode menurut harga mata uang pada akhir periode.
  4. Menyatakn kembali seluruh pembayaran yang bersifat moneter selama periode menurut harga mata uang pada akhir periode.
  5. Menambahkan hasil tahap 2 dengan hasil nomor 3 kemudian mengurangi hasil penambahan ini dengan hasil nomor 4. Hasilnya adalah aktiva moneter netto pada akhir periode menurut nilai mata uang pada akhir periode.
  6. Membandingkan hasil nomor 5 dengan saldo aktiva moneter netto menurut laporan keuangan akhir periode yang disusun atas dasar harga perolehan historis. Apabila aktiva moneter netto menurut harga mata uang konstan lebih besar dibanding aktiva moneter netto menurut harga perolehan historis, maka diperolah laba. Sebaliknya apabila aktiva moneter netto menurut nilai mata uang konstan lebih rendah daripada aktiva moneter menurut harga perolehan historis, maka terjadi rugi. 
Kesimpulannya, keuntungan atau kerugian tingkat harga umum dihitung dengan menyajikan kembali posisi moneter pada awal periode dan transaksi moneter bersih selama periode berjalan sebagai satuan daya beli pada akhir periode. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan posisi moneter bersih aktual, dan perbedaannya menjadi keuntngan atau kerugian tingkat harga umum. 

2.1.7 Perbedaan Pos-pos Moneter dan Non-Moneter
Kemampuan untuk membedakan pos-pos moneter dan non-moneter adalah merupakan suatu hal yang penting, karena terdapat perbedaan perlakuan yang diterapkan bagi kedua jenis pos tersebut Monetary Items adalah aktiva dan kewajiban yang dinilai atau disajikan dalam unit uang yang tetap misalnya kas, piutang, atau kewajiban lainnya yang jumlah nilai uangnya tetap. Non Monetary Items nilai di mana jumlah uangnya tidak ditetapkan menurut kontrak perjanjian. Misalnya Aktiva Tetap, Bangunan, Peralatan, dan Persediaan. 

2.1.8 Pilihan Indeks Tingkat Harga
Dua indeks harga yang paling sering diusulkan untuk akuntansi tingkat harga umum adalah Indeks Harga Konsumen dan Deflator Harga Implisit PNB. CPI adalah suatu indeks pembobotan dasar yang dirancang untuk mengukur perubahan-perubahan harga yang terjadi dalam suatu keranjang barang-barang ritel dan jasa yang dibeli oleh keluarga-keluarga berpenghasilan menengah dengan ukuran tertentu yang hidup di pusat kota. Deflator Harga Implisit PNB adalah suatu indeks pembobotan saat ii yang dirancang untuk mengukur perubahan-perubahan harga yang terjadi dalam seluruh barang dan jasa yang diproduksi dalam tahun dasar dari CPI tidak memperhitungkan subtitusi dan barang-barang yang secara relative berharga lebih murah yang terjadi ketika harga-harga relatif berubah. Dengan kata lain, CPI memiliki bias ke atas : kelebihan menyajikan pengaruh dari perubahan-perubahan harga atas biaya hidup. Di sisi lain, pembobolan saat ini dari IPI memiliki bias ke bawah : kurang menyajikan kenaikan harga dalam biaya hidup.

2.2 Kajian Penelitian Sejenis
  1. David Sukardi Kodrat (2001), meskipun metode General Price Level Accounting lebih interpretative dan relevan namun masih ada masalah tentang cara dan alat untuk menerapkan metode tersebut. Permasalahan tersebut meliputi : cara penyusunan keuangan pada tahun tertentu, dan penggunaan indeks dan masalah penggolongan pos moneter dan pos moneter. Kondisi yang mendesak melakukan penerapan metode (GPLA) adalah tingkat inflasi yang tinggi dan penilaian aset perusahaan.
  2. Bertha Tampang (2006), akuntansi inflasi dengan metode tingkat harga umum, untuk penilaian rasio keuangan yang lebih akurat. Pada penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara laporan keuangan perusahaan sebelum dan sesudah dilakukan konversi ke dalam akuntansi tingkat harga umum. 
  3. Pwee Leng (2000), in conventional accounting, the financial statements prepared on the historical which assumes that prices are stable. If there is a high level of inflation, where inflation is greater than the net rate of return on capital, a large enough number of fixed assets, and working capital turnover is low then the adjustment of financial statements in the general price level needs to be done.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian
Objek penelitian dalan penulisan ini adalah menggunakan metode General Price Level Accounting (GPLA) dikenal sebagai Akuntansi tingkat harga umum. Unit penelitian yang digunakan adalah PT HM. Sampoerna Tbk, dan unit analisis adalah Laporan Keuangan perusahaan periode 2010 yang telah di audit oleh Institut Akuntan Publik Indonesia.

3.1.1 Profil Perusahaan
Pada tahun 1913, Liem Seeng Tee seorang imigran asal Cina mulai membuat dan menjual rokok kretek linting tangan di rumahnya di Surabaya. Perusahaan kecilnya tersebut merupakan salah satu perusahaan pertama yang memproduksi dan memasarkan rokok kretek maupun rokok putih. Setelah usahanya berkembang cukup mapan, Liem Seeng Tee mengganti nama keluarganya sekaligus nama perusahaannya menjadi "Sampoerna".

Keberhasilan Sampoerna menari perhatian Philip Morris International Inc yaitu salah satu perusahaan tembakau terkemuka di dunia untuk berakuisisi pada tahun 2005. Pada akhir 2010, jumlah karyawan Sampoerna dan anak perusahaan mencapai sekitar 27.600 orang. 

Visi dan Misi PT HM.Sampoerna adalah memproduksi rokok berkualitas tinggi dengan harga yang wajar bagi perokok dewasa. memberikan kompensasi dan lingkungan yang baik kepada karyawan dan membina hubungan baik dengan mitra usaha, dan yang terakhir adalah memberikan sumbangsih kepada kepada masyarakat luas. 

3.2 Data 
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah laporan keuangan perusahaan periode 31 Desember 2010,. Laporan keuangan yang akan digunakan antara lain 
  • Neraca (Balance Sheet) merupakan suatu laporan keuangan dalam akuntansi yang menunjukan keadaan keuangan secara sistematis dari suatu perusahaan pada saat tertentu dengan cara menyajikan daftar aktiva, passiva utang dan modal pemilik perusahaan. Atktiva merupakan harta perusahaan yang tedriri dari aktiva lancar, dan aktiva tidak lancar. Untuk pos aktiva lancar adalah suatu harta perusahaan jangka pendek yang umurnya kurang dari satu tahun sedangkan untuk pos non-aktiva tidak lancar merupakan aktiva yang umurnya melebihi satu tahun. Pada Passiva sendiri terdiri dari kewajiban-kewajiban baik jangka pendek maupun jangka panjang serta nilai modal perusahaan.
  • Laporan Laba Rugi (Income status) menggambarkan apakah kinerja perusahaan yang ditinjau dalam kurun waktu satu tahun menghasilkan keuntungan dan kerugian, dimana laporan laba rugi ini merupakan kegiatan terhadap aktivitas pendapatan perusahaan dari penjualan dikurangi dengan harga pokok penjualan, kemudian dikurangi biaya-biaya operasional dan non operasional.
  • Catatan atas laporan Keuangan catatan ini berisi informasi-informasi umum (General Information). Ikhtisar kebijakan akuntansi penting (Summary of significant Accounting Policies) dan juga penjelasan terperinci dan tiap-tiap akun yang terdapat pada laporan keuangan. Selain data berupa laporan keuangan perusahaan, terdapat juga data berupa Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 1999-2010 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik.
3.2.1 Pihak Yang Memerlukan Data Informasi PT HM.Sampoerna
Pihak yang memerlukan data mengenai informasi PT HM.Sampoerna yang telah dinkonversi menggunakan metode tingkat harga umum adalah pihak eksternal contoh investor dan kreditor karena data tersebut digunakan untuk melihat apakah layak jika mereka ingin menanamkankan modal atau meminjamkan pada PT HM.Sampoerna.

3.3 Metode Pengumpulan Data 
Dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan, penulis menggunakan dua metode Pengumpulan data, yaitu : 
  • Penelitian Kepustakaan peneliti mencari data sekunder atau informasi-informasi dengan mempelajari buku-buku dan artikel-artikel lain baik dari Koran maupun internet yang berhubungan dengan masalah-masalah dibahas. 
3.4 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan yaitu analisis tabel yang merupakan penyajian pos-pos moneter sebelum dan sesudah konversi dengan menggunakan metode tingkat harga umum (General Price Level Accounting). Selain analisis tabel, penelitian ini juga mengerjakan analisis komparasi dimana membandingkan koom laporan keuangan berisikan pos-pos dalam Neraca dan Laporan Laba Rugi sebelum penyesuaian berisikan nilai dan masing-masing pos laporan keuangan sebelum dilakukan konversi dengan indeks tingkat harga umum. Kolom faktor konversi berisikan indeks tingkat harga umum sebagai pembanding untuk menyajikan laporan keuangan yang relevan terhadap adanya perubahan nilai uang. Kolom setelah Penyesuaian berisikan nilai dari masing-masing pos laporan keuangan yang telah dihitung ulang menggunakan kolom faktor konversi. 


Proposal ini disusun oleh 
Nama : Gania Astried Chaeranny
Angkatan : 2011 

Senin, 30 Desember 2013

Ethical Governance

Governance System
Ethical Governance (Etika Pemerintahan) adalah Ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam Ethical Governance (Etika Pemerintahan) terdapat juga masalah kesusilaan dan kesopanan ini dalam aparat, aparatur, struktur dan lembaganya. 

Kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati manusia. Suara hati manusia menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk, tergantung pada kepribadian atau jati diri masing-masing. Manusia berbuat baik atau berbuat buruk karena bisikan suara hatinya (consience of man).

Kesusilaan mendorong manusia untuk kebaikan akhlaknya, misalnya mencintai orang tua, guru, pemimpin dan lain-lain, disamping itu kesusilaan melarang orang berbuat kejahatan seperti mencuri, berbuat cabul dan lain-lain. Kesusilaan berasal dari ethos dan esprit yang ada dalam hati nurani. Sanksi yang melanggar kesusilaan adalah batin manusia itu sendiri, seperti penyesalan, keresahan dan lain-lain. Saksi bagi mereka yang melanggar kesopanan adalah dari dalam diri sendiri, bukan dipaksakan dari luar dan bersifat otonom. 

Kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul karena ingin menyenangkan orang lain, pihak luar, dalam pergaulan sehari-hari bermasyarakat, berpemerintahan dan lain-lain. Kesopanan dasarnya adalah kepantasan, kepatutan, kebiasaan, keperdulian, kesenonohan yang berlaku dalam pergaulan (masyarakat, pemerintah, bangsa dan negara). Kesopanan disebut pula sopan santun, tata krama, adat, costum, habit. Kalau kesusilaan ditujukan kepada sikap batin (batiniah), maka kesopanan dititik beratkan kepada sikap lahir (lahiriah) setiap subyek pelakunya, demi ketertiban dan kehidupan masyarakat dalam pergaulan. 

Tujuan bukan pribadinya akan tetapi manusia sebagai makhluk sosial (communal, community, society, group, govern dan lain-lain), yaitu kehidupan masyarakat, pemerintah, berbangsa dan bernegara. Sanksi terhadap pelanggaran kesopanan adalah mendapat celaan di tengah-tengah masyarakat lingkungan, dimana ia berada, misalnya dikucilkan dalam pergaulan. Sanksi dipaksakan oleh pihak luar (norma, kaedah yang ada dan hidup dalam masyarakat). Sanksi kesopanan dipaksakan oleh pihak luar oleh karena itu bersifat heretonom. Khususnya dalam masa krisis atau perubahan, prinsip pemerintahan dan fundamental etikanya di dalam masyarakat sering kali dipertanyakan dan kesenjangan antara ideal dan kenyataan ditantang. Belum lagi, kita mengerti diskusi Etika Pemerintahan sebagai diskursus berjalan dalam pengertian bersama tentang apa yang membuat pemerintahan itu baik, dan langkah konkrit yang mana yang harus dilakukan dalam rangka berangkat dari konsensus bersama ke pemerintahan praktis itu adalah indikator demokrasi dan masyarakat multidimensi.

Budaya etika
Gambaran mengenai perusahaan, mencerminkan kepribadian para pimpinannya. Budaya etika adalah perilaku yang etis. Penerapan budaya etika dilakukan secara top-down. Langkah-langkah penerapan :

Etika Corporate Credo: Pernyataan ringkas mengenai nilai-nilai yang dianut dan ditegakkan perusahaan.
Komitmen Internal :
  • Perusahaan terhadap karyawan
  • Karyawan terhadap perusahaan
  • Karyawan terhadap karyawan lain.
Komitmen Eksternal:
  • Perusahaan terhadap pelanggan
  • Perusahaan terhadap pemegang saham
  • Perusahaan terhadap masyarakat
Penerapan Budaya Etika
Program Etika adalah sistem yang dirancang dan diimplementasikan untuk mengarahkan karyawan agar melaksanakan corporate credo.

Mengembangkan Struktur Etika Korporasi
Semangat untuk mewujudkan Good Corporate Governance memang telah dimulai di Indonesia, baik di kalangan akademisi maupun praktisi baik di sektor swasta maupun pemerintah. Berbagai perangkat pendukung terbentuknya suatu organisasi yang memiliki tata kelola yang baik sudah di stimulasi oleh Pemerintah melalui UU Perseroan, UU Perbankan, UU Pasar Modal, Standar Akuntansi, Komite Pemantau Persaingan Usaha, Komite Corporate Governance, dan sebagainya yang pada prinsipnya adalah membuat suatu aturan agar tujuan perusahaan dapat dicapai melalui suatu mekanisme tata kelola secara baik oleh jajaran dewan komisaris, dewan direksi dan tim manajemennya. 

Pembentukan beberapa perangkat struktural perusahaan seperti komisaris independen, komite audit, komite remunerasi, komite risiko, dan sekretaris perusahaan adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan efektivitas “Board Governance”. Dengan adanya kewajiban perusahaan untuk membentuk komite audit, maka dewan komisaris dapat secara maksimal melakukan pengendalian dan pengarahan kepada dewan direksi untuk bekerja sesuai dengan tujuan organisasi. Sementara itu, sekretaris perusahaan merupakan struktur pembantu dewan direksi untuk menyikapi berbagai tuntutan atau harapan dari berbagai pihak eksternal perusahaan seperti investor agar supaya pencapaian tujuan perusahaan tidak terganggu baik dalam perspektif waktu pencapaian tujuan ataupun kualitas target yang ingin dicapai. 

Meskipun belum maksimal, Uji Kelayakan dan Kemampuan (fit and proper test) yang dilakukan oleh pemerintah untuk memilih top pimpinan suatu perusahaan BUMN adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebutuhan untuk membangun “Board Governance” yang baik sehingga implementasi Good Corporate Governance akan menjadi lebih mudah dan cepat.

Pengertian GCG
  1. Menurut Hirata (2003) dalam Pratolo (2007:8), pengertian “CG yaitu hubungan antara perusahaan dengan pihak-pihak terkait yang terdiri atas pemegang saham, karyawan, kreditur, pesaing, pelanggan, dan lain-lain. CG merupakan mekanisme pengecekan dan pemantauan perilaku manejemen puncak”.
  2. Menurut Pratolo (2007:8), “GCG adalah suatu sistem yang ada pada suatu organisasi yang memiliki tujuan untuk mencapai kinerja organisasi semaksimal mungkin dengan cara-cara yang tidak merugikan stakeholder organisasi tersebut”.
  3. Tanri Abeng dalam Tjager (2003:iii) menyatakan bahwa “CG merupakan pilar utama fondasi korporasi untuk tumbuh dan berkembang dalam era persaingan global, sekaligus sebagai prasyarat berfungsinya corporate leadership yang efektif”.
  4. Zaini dalam Tjager (2003:iv) menambahkan bahwa “CG sebagai sebuah governance system diharapkan dapat menumbuhkan keyakinan investor terhadap korporasi melalui mekanisme control and balance antar berbagai organ dalam korporasi, terutama antara. Dewan Komisiaris dan Dewan Direksi”. Secara sederhananya, CG diartikan sebagai suatu sistem yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi.
Prinsip-prinsip dan Manfaat GCG
Prinsip-prinsip GCG merupakan kaedah, norma ataupun pedoman korporasi yang diperlukan dalam sistem pengelolaan BUMN yang sehat. Berikut ini adalah prinsip-prinsip GCG yang dimaksudkan dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktek GCG pada BUMN.
1) Transparansi
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Contohnya mengemukakan informasi target produksi yang akan dicapai dalam rencana kerja dalam tahun mendatang, pencapaian laba.
2) Kemandirian
suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/ tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Misalnya pada perusahaan ini sedang membangun pabrik, tetapi limbahnya tidak bertentangan dengan UU lingkungan yg dapat merugikan piha lain.
3) Akuntabilitas
kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Misalnya seluruh pelaku bisnis baik individu maupun kelompok tidak boleh bekerja asal jadi, setengah-setengah atau asal cukup saja, tetapi harus selalu berupaya menyelesaikan tugas dan kewajibannya dengan hasil yang bermutu tinggi.
4) Pertanggungjawaban
kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Contohnya dalam hal ini Komisaris, Direksi, dan jajaran manajemennya dalam menjalankan kegiatan operasi perusahaan harus sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
5) Kewajaran (fairness)
keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya memperlakukan rekanan sebagai mitra, memberi perlakuan yang sama terhadap semua rekanan, memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan/pembeli, dan sebagainya.

Kode Perilaku Korporasi dan Evaluasi Terhadap Kode Perilaku Korporasi (Corporate Code Of Conduct)
Code of Conduct adalah pedoman internal perusahaan yang berisikan Sistem Nilai, Etika Bisnis, Etika Kerja, Komitmen, serta penegakan terhadap peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis, dan aktivitas lainnya serta berinteraksi dengan stakeholders. Salah satu contoh perusahaan yang menerapkan kode perilaku korporasi (corporate code of conduct) adalah sebagai berikut :
PT. NINDYA KARYA (Persero) telah membentuk tim penerapan Good Corporate Governance pada tanggal 5 Februari 2005, melalui Tahapan Kegiatan sebagai berikut :

Sosialisasi dan Workshop. Kegiatan sosialisasi terutama untuk para pejabat telah dilaksanakan dengan harapan bahwa seluruh karyawan PT NINDYA KARYA (Persero) mengetahui & menyadari tentang adanya ketentuan yang mengatur kegiatan pada level Manajemen keatas berdasarkan dokumen yang telah didistribusikan, baik di Kantor Pusat, Divisi maupun ke seluruh Wilayah.

Melakukan evaluasi tahap awal (Diagnostic Assessment) dan penyusunan pedoman-pedoman. Pedoman Good Corporate Governance disusun dengan bimbingan dari Tim BPKP dan telah diresmikan pada tanggal 30 Mei 2005. Adapun Prinsip-prinsip Good Corporate Governance di PT NINDYA KARYA (Persero) adalah sebagai berikut :
  • Pengambilan Keputusan bersumber dari budaya perusahaan, etika, nilai, sistem, tata kerja korporat, kebijakan dan struktur organisasi.
  • Mendorong untuk pengembangan perusahaan, pengelolaan sumber daya secara efektif dan efisien.
  • Mendorong dan mendukung pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan stake holder lainnya.
Dalam mengimplementasikan Good Corporate Governance, diperlukan instrumen-instrumen yang menunjang, yaitu sebagai berikut :
  • Code of Corporate Governance (Pedoman Tata Kelola Perusahaan), pedoman dalam interaksi antar organ Perusahaan maupun stakeholder lainnya.
  • Code of Conduct (Pedoman Perilaku Etis), pedoman dalam menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis antara Perusahaan dengan Karyawannya.
  • Board Manual, Panduan bagi Komisaris dan Direksi yang mencakup Keanggotaan, Tugas, Kewajiban, Wewenang serta Hak, Rapat Dewan, Hubungan Kerja antara Komisaris dengan Direksi serta panduan Operasional Best Practice.
  • Sistim Manajemen Risiko, mencakup Prinsip-prinsip tentang Manajemen Risiko dan Implementasinya.
  • An Auditing Committee Contract – arranges the Organization and Management of the Auditing Committee along with its Scope of Work.
  • Piagam Komite Audit, mengatur tentang Organisasi dan Tata Laksana Komite Audit serta Ruang Lingkup Tugas.

Pentingnya Etika Profesi Akuntansi

Etika menurut pengertian yang sebenarnya adalah filsafat tentang moral. Jadi, etika merupakan ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma moral. Etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia, sebagai manusia, harus hidup baik, dan masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. 

Etika dalam pengertian yang lebih luas adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Etika dalam pengertian yang lebih sempit, sering diacu sebagai seperangkat nilai atau prinsip moral yang berfungsi sebagai panduan untuk berbuat, bertindak, atau berperilaku. 

Jadi, dapat disimpulkan bahwa etika berkaitan dengan bagaimana manusia menjalankan kehidupannya, dan menaruh perhatian pada bagaimana (berperilaku untuk)mencapai kehidupan yang baik dan lebih baik. Profesionalisme dan Etika Istilah profesional mengandung makna kualitas yang sangat tinggi, sedangkan profesi memiliki pengertian pekerjaan yang ditekuni dan menjadi tumpuan hidup, atau dapat juga berarti bidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan keahlian tertentu. 

Profesi sering dibedakan menjadi dua jenis, yaitu profesi biasa dan profesi luhur. Suatu profesi dibangun di atas landasan moral karena seorang profesional memang dituntut untuk menghasilkan kinerja berstandar kualitas tinggi dan mengutamakan kepentingan publik. Profesional (seorang profesional) adalah orang yang menjalani suatu profesi, dan karenanya, mempunyai tanggung jawab yang tinggi untuk berkarya dengan standarkualitas tinggi dilandasi dengan komitmen moral yang tinggi pula. 

Etika profesi atau etika profesional merupakan pembeda utama antara para profesional dan orang-orang yang hanya sekadar ahli di bidang yang mereka pilih untuk ditekuni.

Peranan Etika dalam Profesi Akuntansi
Profesi akuntansi mengandung karakteristik pokok suatu profesi, diantaranya adalah jasa yang sangat penting bagi masyarakat, pengabdian bangsa kepada masyarakat, dan komitmen moral yang tinggi. Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para akuntan dengan standar kualitas yang tinggi, dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri. Itulah sebabnya profesi akuntansi menetapkan standar teknis atau standar etika yang harus dijadikan sebagai panduan oleh para akuntan, utamanya yang secara resmi menjadi anggota profesi, dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. 

Jadi, standar etika diperlukan bagi profesi akuntansi karena akuntan memiliki posisi sebagai orang kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan. Kode etik atau aturan etika profesi akuntansi menyediakan panduan bagi para akuntan profesional dalam mempertahankan diri dari godaan dan dalam mengambil keputusan-keputusan sulit. Etika Profesi dan Etika Kerja Etika profesi atau etika profesional merupakan suatu bidang etika (sosial) terapan. Etika profesi berkaitan dengan kewajiban etis mereka yang menduduki posisi yang disebut profesional. Etika profesi berfungsi sebagai panduan bagi para profesional dalam menjalani kewajiban mereka memberikan dan mempertahankan jasa kepada masyarakat yang berstandar tinggi. 

Dalam kaitannya dengan profesi, etika meliputi norma-norma yang mentransformasikan nilai-nilai atau cita-cita (luhur) ke dalam praktik sehari-hari para profesional dalam menjalankan profesi mereka. Norma-norma ini biasanya dimodifikasikan secara formal ke dalam bentuk kode etik atau kode perilaku profesi yang bersangkutan. Etika profesi biasanya dibedakan dari etika kerja yang mengatur praktek, hak, dan kewajiban bagi mereka yang bekerja di bidang yang tidak disebut profesi (non-profesional). Non-profesional adalah pegawai atau pekerja biasa dan dianggap kurang memiliki otonomi dan kekuasaan atau kemampuan profesional. 

Namun demikian, ada sejumlah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada alasan moral untuk mengeluarkan etika kerja dari kajian etika profesional karena keduanya tidak terlalu berbeda jenisnya kecuali yang menyangkut besarnya bayaran yang diterima dari pekerjaan mereka. Masyarakat tidak mencemaskan pengambilalihan pekerjaan, tetapi masyarakat mencemaskan penyalahgunaan kekuasaan/keahlian. 

Pembedaan antara etika profesi dan etika kerja lazimnya dilakukan mengingat aktivitas para profesional seperti dokter, pengacara, dan akuntan, adalah berbeda dengan pekerja lain umumnya. Para profesional memiliki karakteristik khusus dari segi pendidikan atau pelatihan, pengetahuan, pengalaman, dan hubungan dengan klien, yang membedakannya dari dari pekerja non-profesional.

Lingkungan Etika Akuntan Profesional
Pentingnya Pemahaman Lingkungan Etika
Lingkungan etika adalah arena bagi para akuntan profesional menjalani tugas-tugas profesionalnya. Lingkungan etika ini meliputi organisasi bisnis dan nonbisnis yang merupakan sasaran jasa profesional para akuntan, lingkungan bagi organisasi bisnis dan non bisnis tersebut, dan masyarakat secara umum, serta organisasi atau kantor yang mempekerjakan mereka. Akuntan profesional yang berfungsi menjembatani kepentingan-kepentingan yang sering berlawanan tersebut harus menyadari dan memahami harapan publik terhadap bisnis dan organisasi-organisasi lain yang menjadi sasaran jasa profesionalnya aar setiap akuntan profesional dapat menemukan bagaimana seharusnya menafsirkan aturan-aturan profesi mereka dan memadukan kearifan intelektual dan kearifan tindakan yang sesuai dengan standar etika.

Celah Kredibilitas dan Harapan Pemahaman akan perkembangan dan tuntutan lingkungan memungkinkan para akuntan profesional mengidentifikasi ada tidaknya celah harapan publik (expectation gap) dan celah kredibilitas (credibility gap), yang selanjutnya memungkinkan mereka untuk menutup celah tersebut. Berbagai kasus skandal bisnis dan keuangan yang melibatkan para akuntan profesional mulai terkuak. Kasus-kasus tersebut dapat mengindikasikan bahwa adanya pengingkaran oleh sejumlah akuntan terhadap kepercayaan tinggi yang diberikan oleh masyarakat kepada profesi akuntansi. Ini merupakan ancaman bagi para akuntan yang bersangkutan dan profesi akintan secara keseluruhan, yang harus disadari sepenuhnya dan ditanggapi sungguh-sungguh dengan meningkatkan kepatuhan terhadap standar teknis maupun standar etika yang berlaku.

Etika Bisnis dan Akuntan Profesional
Etika bisnis berarti menemukan dan bertindakdengan cara yang tepat dalam setiap situasi bisnis. Di dalamnya terdapat dua isu yang berpengaruh dengan etika bisnis, pertama, sulitnya menentukan tindakan yang benar-benar tepat dari satu situasi ke situasi lainnya. kedua, keberanian dan keteguhan untuk melaksanakan tindakan yang etis tersebut. Ada beberapa alasan tentang betapa pentingnya dari sebuah etika bisnis, yaitu, pelanggan menuntut perilaku beretika dari bisnis, etika menjadikan iklim kerja lebih baik, dan pegawai yang makin diberdayakan memerlukan panduan yang lebih jelas. Faktor pendorong dari peningkatan tuntutan etis:
  • Globalisasi,
  • Kompetisi,
  • Teknologi, dan
  • Masalah-masalah lingkungan.
Hukum dan Etika dalam bisnis
Sejumlah pihak meyakini bahwa hukum, bukan etika, ialah satu-satunya panduan relevan dengan alasan hukum dan etika mengatur dua realitas yang berbeda serta hukum tidak lain adalah etika bisnis itu sendiri. Tetapi bagi seorang manajer, jika hanya berpanduan pada hukum saja tidak cukup karena dapat membahayakan, berikut alasan- alasan dalam mempertimbangkan suatu keputusan, antara lain:
  1. Hukum tidak memadai untuk mengatur aspek-aspek tertentu dari aktivitas bisnis.
  2. Di bidang-bidang baru, hukum sering lamban berkembang.
  3. Hukum itu sendiri sering menggunakan konsep-konsep moral yang tidak sepenuhnya didefinisikan.
  4. Hukum sering tidak tuntas karena memerlukan pengadilan sebagai pengambil keputusan.
  5. Suatu alasan pragmatis bahwa hukum merupakan instrument yang tidak begitu efisien dan semata-mata mendasarkan diri pada hukum mengundang legislasi dan litigasi yang tidak diperlukan.
Pemahaman akan etika bisnis ini sangat penting bagi seorang akuntan professional karena bisnis merupakan salah satu bindang penting bagi para akuntan professional dalam mengerjakan tugasnya. Pemahaman tersebut akan membantu para akuntan dalam menanggapi dan menangani masalah-masalah etis yang berkaitan dengan praktik-praktik bisnis yang menjadi sasaran pengkajiandan penilaian mereka. 

Prinsip- prinsip yang berlaku dalam etika bisnis ini hampir sama pada prinsip- prinsip dari etika secara umum.- Etika Pelayanan Publik dan Akuntan Profesional Tuntutan akan efisiensi dan efektivitas organisasi, profesionalisme, dan standar perilaku yang tinggi kini juga ditujukan pada birokrasi atau administrasi publik yang bertanggung jawab terhadap pelayanan publik. Aparatur birokrasi semakin dituntut untuk secara profesional menunujukkan kinerjanya yang berkualitas tinggi, dengan cara- cara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika. 

Bagi akuntan profesional, perhatian terhadap praktik-praktik birokrasi serta isu-isu etikanya dan perubahan-perubahan yang berlangsung adalah sangat penting dalam rangka memperoleh pemahaman yang baik mengenai bagaimana akuntan profesional seharusnya menafsirkan aturan-aturan profesi mereka sehingga dapat menempatkan diri mereka secara tepat. 

Etika Akuntan Profesional Menurut pasal 4 ayat 1 Undang-Undang nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 17 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dijelaskan bahwa pegawai negeri adalah unsur aparatur negara yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur, adil danmerata dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan. Jika dilihat dari pengertian tersebut, maka tak heran bila kerap kali profesipegawai negeri dikaitkan dengan profesionalitas dan etika. Profesionalitas merujuk padakompetensi teknis pekerjaan itu sendiri yang menuntut hasil dengan standar tinggi. Sedangkan etika lebih kepada kualifikasi perilaku moral bagi pegawai pelayan publik. 

Urgensi kedua hal tersebut adalah untuk menjamin bahwa kebijakan-kebijakan publik diimplementasikan dan menjadi realitas. Sikap yang diperlukan :
  1. Mempelajari dan menguasai pekerjaan Anda di bidang administrasi publik;
  2. Menjadi pakar di bidang spesialisasi yang Anda pilih;
  3. Menjadi teladan dalam berperilaku;
  4. Memelihara pengetahuan dan keterampilan pada tingkat yang tinggi, menghindari benturan kepentingan dengan menempatkan nilai pengabdian kepada kepentingan publik di atas kepentingan pribadi;
  5. Mendisiplinkan pelaku kesalahan dan anggota lainnya yang diyakini merusak reputasi profesi;
  6. Mengungkapkan kecurangan dan malpraktik;
  7. Secara umum meningkatkan kemampuan Anda melalui berbagai upaya pengembangan diri, termasuk penelitian, percobaan dan inovasi.
Profesionalisme dalam pelayanan publik memang membutuhkan komitmen yang tinggi mengingat perilaku pelayan publik adalah terbuka sepanjang waktu dan menjadisasaran penilaian publik jika seorang pelayan publik gagal menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu, sebagai pegawai negeri yang bekecimpung dalam pelayanan publik sudah sepantasnya menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme yang bersesuaian dengan nilai-nilai etika sebagai acuan perilaku dalam melayani publik.
  1. Memberikan Manfaat Publik Tujuan sosial yang harus dipenuhi meniadakan dorongan untuk mementingkan diri sendiri dan memperkaya birokrasi serta berusaha menjauhkan diri dari tindakan yang merugikan dan harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal seperti kebebasan HAM.
  2. Menegakkan Aturan Hukum Aturan hukum memberikan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan juga merupakan prinsip pertama pemerintahan yang demokratis.
  3. Menjamin Adanya Tanggung Jawab dan Akuntabilitas Publik Nilai ini menuntut pegawai negeri untuk menjadi pelindung kepentingan publik,bersikap jujur, selalu memutakhirkan informasi dan tanggap.
  4. Menjadi Teladan Profesional dalam pelayanan publik berarti memiliki komitmen pengabdian terhadap publik, pelaksana yang baik, memajukan kepentingan publik dan memperbaiki kondisi kehidupan tanpa mengharap imbalan.
  5. Meningkatkan Kinerja Profesional di lingkungan pelayanan publik (birokrasi) mungkin kurang memiliki otonomi dan independensi, namun demikian Anda harus selalu berusaha meningkatkan kinerja Anda dalam berbagai bidang tanggung jawab.
  6. Memajukan Demokrasi Profesional di lingkungan pelayanan publik harus mengadopsi sejumlah nilai baru yang beberapa di antaranya mungkin berbenturan dan memerlukan priorotisasi.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, pegawai negeri juga dituntut untuk berpegang pada netralitas birokrasi, artinya birokrasi memberikan pelayanan berdasarkan profesionalisme, bukan berdasarkan kepentingan politik. Birokrasi yang netral, tidak memihak dan objektif diperlukan agar pelayanan dapat diberikan kepada seluruh masyarakat tanpa memihak pada pihak tertentu.

Minggu, 24 November 2013

Good Corporate Governance

Good Corporate Governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu system yang mengatur dan mengendalikan perusahaan (FCGI, 2001:20). 

Menurut Rahmawati dalam Putri (2006) Good Corporate Governance didefenisikan sebagai seperangkat aturan dan prinsip-prinsip antara lain fairness, transparency, accountability dan responsibility yang mengatur hubungan antar pemegang saham, manajemen, Direksi dan Komisaris, kreditur, karyawan serta stakeholders lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak. 

Untuk lebih jelas, berikut adalah beberapa kutipan dari pengertian coprorate governance : 

Forum for Corporate Governance in Indonesia/FCGI (2001:22) 

Corporate governance : 
Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan.  
Menurut Wahyudi Prakarsa (2007:120) 
Corporate Governance : 
Mekanisme administratif yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham dan kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk berbagai aturan permainan dan sistem intensif sebagai kerangka kerja yang diperlukan untuk menentukan tujuan-tujuan perusahaan dan cara-cara pencapaian tujuan-tujuan serta pemantauan kinerja yang dihasilkan. 
Dari berbagai pengertian good governance, dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelengaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif diantara domain negara, sektor swasta dan masyarakat (LAN, 2000: 6). 

Sementara tujuan dari Good Corporate Governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Menurut Maruf (2006:15) Pelaksanaan good corporate governance diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat berikut ini : 
  1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders. 
  2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat lebih meningkatkan corporate value. 
  3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. 
  4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan deviden. 
Pelaksanaan good corporate governance dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku secara internasional. Prinsip-prinsip dasar ini diharapkan menjadi rujukan bagi para regulator (pemerintah) dalam membangun framework bagi penerapan good corporate governance. 

Prinsip-prinsip penerapan good corporate governance yang dikemukakan oleh Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001 : 31) adalah sebagai berikut:
  • Fairness (Kewajaran) Perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading). 
  • Transparency (Transparansi) Hak-hak para pemegang saham yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat waktu mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan dan turut memperoleh bagian dari keuuntungan perusahaan. 
  • Accountability (Akuntablitas) Tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif  berdasarkan balance of power antara manajer, pemegang saham, Dewan Komisaris dan auditor.
  • Responsibility (Responsibilitas) Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerja sama yang aktif antara perusahaan serta pemegang kepemtingan dalam menciptakan kesejahteraan. 
  • Indenpendency (indenpendensi) Indenpendensi yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggungjawab antara satu dengan yang lain sehingga terwujud sistem pengendalian internal yang efektif. 
Kepemilikan Manajerial 
Kepemilikan manajerial merupakan isu penting dalam teori keagenan sejak dipublikasikan oleh Jensen dan Meckling (1976:421) yang menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen dalam suatu 
perusahaan maka manajemen akan berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri. 

Proporsi Dewan Komisaris 
Proporsi dewan komisaris memegang peranan penting dalam Implementasi good corporate governance karena merupakan inti dari good corporate governance yang bertugas untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan. Untuk menjamin pelaksanaan good corporate governance diperlukan anggota dewan komisaris yang memiliki integritas, kemampuan tidak cacat hukum dan tidak memiliki hubungan bisnis ataupun hubungan lainnya dengan pemegang saham pengendali (mayoritas) baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Beasley (1996) dalam Isnanta (2008) menyarankan bahwa masuknya dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan meningkatkan efektivitas dewan tersebut dalam mengawasi manajemen untuk mencegah kecurangan laporan keuangan. Hasil penelitiannya juga melaporkan bahwa komposisi dewan komisaris lebih penting untuk mengurangi terjadinya kecurangan pelaporan keuangan, daripada kehadiran komite audit. Analisis lain dalam penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik komisaris yang berasal dari luar perusahaan (outsider director) juga berpengaruh terhadap kecenderungan terjadinya kecurangan pelaporan keuangan. 

Komite Audit 
Sesuai dengan Kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian. 

Berdasarkan Surat Edaran BEJ, SE-008/BEJ/12-2001, keanggotaan komite audit terdiri darisekurang-kurangnya tiga orang termasuk ketua komite audit. Anggota komite ini yang berasal dari komisaris hanya sebanyak satu orang, anggota komite yang berasal dari komisaris tersebut merupakan komisaris independen 
perusahaan tercatat sekaligus menjadi ketua komite audit. Anggota lain yang bukan merupakan komisaris independen harus berasal dari pihak eksternal yang independen. 

Seperti diatur dalam Kep-29/PM/2004 yang merupakan peraturan yang mewajibkan perusahaan membentuk komite audit, tugas komite audit antara lain: 
  1. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan, seperti laporan keuangan, proyeksi dan informasi keuangan lainnya 
  2. Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundangundangan di bidang pasar modal dan peraturan perundangan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan
  3. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal
  4. Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dan pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi
  5. Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada dewan komisaris atas pengaduan yang berkaitan dengan emiten
  6. Menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan rahasia perusahaan
Manajemen Laba 
Definisi manajemen laba yang diungkapkan oleh Sutrisno (2002:20) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Manajemen laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Beberapa pihak yang berpendapat bahwa manajemen laba merupakan perilaku yang tidak dapat diterima, mempunyai alasan bahwa manajemen laba berarti suatu pengurangan dalam keandalan informasi laporan keuangan. Investor mungkin tidak menerima informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan risiko portofolionya Assih (2004:34). 

Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000:47) dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu: 
  1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi. Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain. 
  2. Mengubah metode akuntansi. Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh : merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. 
  3. Menggeser periode biaya atau pendapatan. Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain : mempercepat/menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat/menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat/menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai. 
Motivasi untuk melakukan manajemen laba menurut Stice, Stice & Skousen (2004:421) antara lain: (1) memenuhi target internal (target laba, target penjualan); (2) memenuhi harapan eksternal (stakeholder); (3) meratakan atau memuluskan laba (income smoothing); (4) mendandani angka laporan keuangan (window dressing) untuk penjualan saham perdana (IPO) atau memperoleh pinjaman. 

Manajemen laba menjadi menarik untuk diteliti karena dapat memberikan gambaran akan perilaku manajer dalam melaporkan kegiatan usahanya pada suatu periode tertentu, yaitu adanya kemungkinan munculnya motivasi tertentu yang mendorong mereka untuk mengatur data keuangan yang dilaporkan. Manajemen laba tidak harus dikaitkandengan upaya untuk memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi (accounting methods) untuk mengatur keuntungan yang bisa dilakukan karena memang diperkenankan menurut accounting regulations (Gumanti, 2000:33). 

Kerangka Konseptual dan Hipotesis 

1. Kerangka Konseptual 
Kerangka konseptual merupakan suatu model yang menjelaskan bagaimana hubungan suatu teori dengan factor-faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. 
Kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 

Gambar 2.1 
Kerangka Konseptual 

Dalam penelitian ini, yang merupakan variabel independen adalah kepemilikan manajerial, dewan komisaris, dan komite audit. Sedangkan yang menjadi variabel dependen adalah manajemen laba. Tujuan dari good corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan.

Apabila good corporate governance dalam kepemilikan manajerial, dapat berjalan dengan baik maka dapat meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan, kemudian kemungkinan terjadinya manajemen laba yang dapat memberikankeuntungan pribadi sangat kecil sehingga dapat menarik investor lainnya untuk menanamkan investasinya di perusahaan tersebut.

Peranan dewan komisaris juga akan memberikan pengaruh terhadap manajemen laba karena dewan komisaris mengawasi penyeimbangan kepentingan manajemen. Pemberian tugas dan wewenang kepada dewan direksi untuk mengelola perusahaan dari rapat umum pemegang saham mengakibatkan seluruh pengelolaan perusahaan dilakukan oleh dewan direksi. Oleh karena itu, agar dewan direksi tidak melampaui wewenang dalam menjalankan tugasnya, diperlukan pengawasan. Tugas dan wewenang untuk mengawasi dewan direksi dalam mengelola perusahaan diberikan kepada dewan komisaris oleh para pemegang saham dalam rapat umum pemegang saham.

Untuk meningkatkan kinerjanya, dewan komisaris dibantu oleh komite audit, dimana komite audit ini merupakan pihak ekstern yang independen dan tidak mempunyai hubungan usaha maupun hubungan afiliasi dengan perusahaan, Direktur, Komisaris atau Pemegang Saham Utama. Peranan komite audit juga akan memberikan pengaruh terhadap manajemen laba karena komite audit berfungsi untuk membantu dewan komisaris dalam meningkatkan kualitas laporan keuangan. komite audit yang independen memiliki peran yang sangat penting dalam suatu perusahaan, terutama untuk mengurangi adanya tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan (Linda Kusumaning Wedari, 2004).

2. Hipotesis Penelitian 
Menurut Rochaety (2007:31), hipotesis merupakan kebenaran sementara yang masih harus diuji. Hipotesis menyatakan hubungan yang diduga secara logis antara dua variabel atau lebih dalam rumusan proporsi yang dapat diuji secara empiris. Berdasarkan uraian teoritis dan kerangka konseptual, maka hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 

H1: kepemilikan manajerial berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba
H2: proporsi dewan komisaris berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba 
H3: komite audit berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba 
H4 : mekanisme GCG berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba 

Tugas: Bedah jurnal GCG

PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE
DAN PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
TERHADAP NILAI PERUSAHAAN
(STUDI EMPIRIS PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR
DI BURSA EFEK PERIODE 2007 - 2010)



Penulis:
Reny Dyah Retno M.
Denies Priantinah M.Si., Ak.



Latar Belakang

Peningkatan nilai perusahaan yang tinggi merupakan tujuan jangka panjang yang seharusnya dicapai perusahaan yang akan tercermin dari harga pasar sahamnya karena penilaian investor terhadap perusahaan dapat diamati melalui pergerakan harga saham perusahaan yang ditransaksikan di bursa untuk perusahaan yang sudah go public. Dalam proses memaksimalkan nilai perusahaan akan muncul konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham (pemilik perusahaan) yang sering disebut agency problem. Tidak jarang pihak manajemen yaitu manajer perusahaan mempunyai tujuan dan kepentingan lain yang bertentangan dengan tujuan utama perusahaan dan sering mengabaikan kepentingan pemegang saham. Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency conflict, hal tersebut terjadi karena manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi dari manajer karena apa yang dilakukan manajer tersebut akan menambah biaya bagi perusahaan sehingga menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan berpengaruh terhadap harga saham sehingga menurunkan nilai perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Wien Ika Permanasari, 2010: 1).

Menurut BPKP, latar belakang kebutuhan atas  GCG, dari latar belakang praktis, dilihat dari pengalaman Amerika Serikat yang harus melakukan restrukturisasi corporate governance akibat market crash pada tahun 1929. Dari latar belakang akademis, kebutuhan GCG  timbul berkaitan dengan principal-agency theory. Implementasi dari GCG diharapkan bermanfaat untuk menambah dan memaksimalkan nilai perusahaan.

GCG diharapkan mampu mengusahakan keseimbangan antara berbagai kepentingan yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan secara menyeluruh. CSR merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan dalam memperbaiki kesenjangan social dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas operasional perusahaan. Semakin banyak bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan perusahaan terhadap lingkungannya, image perusahaan menjadi meningkat. Investor lebih berminat pada perusahaan yang memiliki citra yang baik di masyarakat karena semakin baiknya citra perusahaan, loyalitas konsumen semakin tinggi sehingga dalam waktu lama penjualan perusahaan akan membaik dan profitabilitas perusahaan juga meningkat. Jika perusahaan berjalan lancar, maka nilai saham perusahaan akan meningkat. 

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah
  1. Untuk mendapatkan bukti empiris apakah GCG mempengaruhi Nilai Perusahaan dengan variable kontrol Ukuran Perusahaan dan Leverage pada perusahaan yang terdaftar di BEI periode 2007-2010
  2. Untuk mendapatkan bukti empiris apakah Pengungkapan CSR mempengaruhi Nilai Perusahaan dengan variable kontrol Ukuran Perusahaan, Jenis Industri, Profitabilitas dan Leverage pada perusahaan yang terdaftar di BEI periode 2007-2010
  3. Untuk mendapatkan bukti empiris apakah GCG dan Pengungkapan CSR mempengaruhi Nilai Perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di BEI periode 2007-2010


Variable dan Ukurannya
a. Variabel Dependen 
Menurut White et al. (2002) dalam Etty Murwaningsari (2009). Tobins’Q dapat dirumuskan sebagai berikut:  





Keterangan:
Q =  Nilai Perusahaan
EMV = Nilai pasar ekuitas (Equity Market Value), yang diperoleh dari hasil perkalian harga saham penutupan (closing price) akhir tahun dengan jumlah saham yang beredar pada akhir tahun 
EBV = Nilai buku dari ekuitas (Equity Book Value), yang diperoleh dari selisih total aset perusahaan dengan total kewajiban
D   =  Nilai buku dari total utang

b. Variabel Independen
1) Variabel independen yang pertama dalam penelitian ini adalah Good Corporate Governance.
Variabel ini diukur dengan menggunakan instrumen yang telah dikembangkan oleh Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG) berupa Corporate Governance Perception Index (CGPI) yang diterbitkan di majalah SWA.

Penilaian CGPI meliputi empat tahap  dengan bobot nilai:
a)Self-assessment (15%)
b) Pada tahap ini perusahaan diminta mengisi kuesioner self-assessment seputar penerapan konsep CG di perusahaannya.
c) Pengumpulan Dokumen Perusahaan (25%)
d) Penyusunan Makalah dan Presentasi (12%)
e) Observasi ke perusahaan (48%)

Nilai CGPI dihitung dengan menjumlahkan nilai akhir dari setiap tahapan diatas. Rating level pada CGPI yaitu:
a) Sangat Terpercaya (85,00-100)
b) Terpercaya (70,00-84,99)
c) Cukup Terpercaya (55,00-69,99)

Dalam penelitian ini, setiap perusahaan akan diberikan skor sesuai dengan rating yang diperoleh dari CGPI, yaitu: 
a) Sangat Terpercaya (85,00-100) dengan skor 3
b) Terpercaya (70,00-84,99) dengan skor 2
c) Cukup Terpercaya (55,00-69,99) dengan skor 1

2) Variabel independen yang pertama dalam penelitian ini adalah Good Corporate Governance
Variabel independen dalam penelitian ini adalah tingkat pengungkapan CSR pada Laporan Tahunan perusahaan yang dinyatakan dalam Corporate Social Responsibility Index (CSRI) yang akan dinilai dengan membandingkan jumlah pengungkapan yang dilakukan perusahaan dengan jumlah pengungkapan yang disyaratkan GRI meliputi 79 item pengungkapan yang meliputi tema: economic,environment, labour practices, human rights, society, dan product responsibility. Perhitungan Index Luas Pengungkapan CSR (CSRI) dirumuskan sebagai berikut:





Pengukuran indeks pengungkapan CSR dilakukan metode analisis isi (content analysis) yaitu suatu metode pengkodifikasian teks dengan ciri-ciri yang sama ditulis dalam berbagai kelompok atau kategori berdasar pada kinerja yang ditentukan (Weber, 1988 dalam Sembiring, 2005).

c. Variabel Kontrol
Variabel kontrol adalah variabel yang dikendalikan sehingga pengaruh variabel bebas terhadap variable terikat tidak dipengaruhi oleh factor luar yang tidak diteliti. Fungsi dari variable control adalah untuk mencegah adanya hasil perhitungan bias. Variabel kontrol adalah variabel untuk melengkapi atau mengontrol hubungan kausalnya supaya lebih baik untuk mendapatkan model empiris yang lengkap dan lebih baik. Variabel control dalam penelitian ini adalah:

1) Ukuran Perusahaan (Size)
 Ukuran perusahaan dirumuskan sebagai berikut (Waryanto, 2010):
SIZE = log (nilai buku total aset) 

2) Jenis Industri
Klasifikasi industri yang dipakai dalam penelitian menggunakan klasifikasi yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Indonesia yang termuat dalam Fact Book yang terbagi dalam 9 sektor industri menurut Bursa Efek Indonesia adalah:
1) Agriculture
2)Mining
3)Basic Industry and Chemicals
4)Miscellaneous Industry
5) Consumer Goods Industry
6) Property, Real Estate and Building Construction
7) Infrastructure, utilities & transportation
8)Finance
9)Trade, Services & Investment

 Klasifikasi yang terbagi dalam 9 kelompok jenis industri, kemudian akan diklasifikasikan lagi sesuai dengan data dalam penelitian, sehingga diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
1)      Mining
2)      Consumer Goods Industry
3)      Property, Real Estate and Building Construction
4)      Infrastructure, utilities & transportation
5)      Finance
6)      Trade, Services & Investment
7)      Miscellaneous Industry

3) Profitabilitas
Menurut Indah Sulistiyowati, dkk. (2010).

Untuk mengukur profitabilitas digunakan berupa rumus sebagai berikut: 





4) Leverage
Mengacu pada penelitian Indah Sulistyowati, dkk (2010) debt to equity ratio (DER) diukur dengan rumus:



Hasil Penelitian dan Pembahasan

Tabel1.  Statistik Deskriptif



Berdasarkan hasil tabel statistik di atas pada variabel Nilai Perusahaan memiliki nilai terendah sebesar 0,51 dan nilai tertinggi sebesar 7,32, nilai rata-rata sebesar 1,78. Pada variabel GCG memiliki nilai terendah 1 nilai tertinggi sebesar 3 dan nilai rata-rata sebesar 2. Berdasarkan hasil tabel statistik deskriptif Pengungkapan CSR mencapai rata-rata 0,3248. Adapun nilai terendah dari Pengungkapan CSR adalah 0,06 dengan nilai tertinggi adalah 1,00.

Hasil tabel statistik deskriptif Ukuran Perusahaan mencapai rata-rata 46724086811439 dengan nilai terendah 102347280357 dan nilai tertinggi  358438678000000. Variabel Jenis Industri mencapai rata-rata 3,65 dengan nilai terendah 1 dan nilai tertinggi 7. Pada variabel profitabilitas mencapai rata-rata 0,08128 dengan nilai minimum 0,001 dan nilai maximumadalah 0,426. Pada variable Leverage mencapai rata-rata 3,27051 dengan nilai minimum 0,0004 dan nilai maximum 11,141.

1. Uji Normalitas
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas  









Berdasarkan hasil uji statistik KolmogorovSmirnov, diperoleh nilai Kolmogorov-Smirnov 1,309 dan nilai Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,65. Signifikansi 0,65 lebih besar daripada tingkat signifikansi yang ditetapkan (a = 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa data terdistribusi secara  normal.

2. Uji Multikolinearitas
Tabel  3. Hasil Uji Multikolinearitas  










Dari tabel di atas terlihat bahwa semua nilai VIF dari hasil regresi parsial di bawah 10. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolonearitas pada keenam variabel penelitian tersebut.

3. Uji Autokorelasi
Adapun hasil perhitungan Durbin Watson sebesar 1,878. Nilai ini berada  pada  daerah 1,850 < 1,878 <  2 sehingga dapat disimpulkan bahwa data tersebut telah berada pada daerah tidak mempunyai autokorelasi.

4. Uji Heteroskedastisitas
Dalam penelitian ini digunakan metode  Glejser untuk mengetahui heterokesdatisitas.
Tabel 4. Hasil Uji Heteroskedastisitas  
















Dari hasil perhitungan tersebut ternyata dalam model regresi tersebut semua menunjukkan t-hitung t-tabel atau signifikansi  0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model regresi ini tidak terjadi heteroskedastisitas.

5. Pengujian Regresi Berganda
Tabel 5. Hasil Analisis Regresi Berganda

















Tabel 16. Hasil Analisis Korelasi,  Hasil Uji Korelasi Pearson
















Berdasarkan hasil perhitungan regresi secara keseluruhan, diperoleh hasil persamaan regresi sebagai berikut :

Nilai Perusahaan = 0,895 + 0,536 GCG + 0,007 CSRI - 0,030 Ukuran Perusahaan (size) - 0,074 Jenis Industri + 2,810 Profitabilitas  -  0,028 Leverage

Pendapat
Berdasarkan hasil penelitian serta hal-hal yang terkait dengan keterbatasan penelitian, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :

a. Bagi investor dan calon investor perusahaan yang terdaftar di BEI agar lebih seksama dan juga memperhatikan aspek GCG  dan Pengungkapan CSR perusahaan sebagai pertimbangan dalam melakukan investasi.

b. Bagi peneliti selanjutnya :
  1. Pada penelitian selanjutnya dapat menggunakan laporan sustainability reporting yang telah dikroscek oleh Global Reporting Initiative, ini untuk menghindari penilaian secara subjektif.
  2. Untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih baik, penelitian selanjutnya dapat memperpanjang periode penelitian.