Sabtu, 17 November 2012

Jurnal 1: Abstrak

Review 


PENYUSUNAN MODEL
 PENGEMBANGAN AGRIBISNIS  PAKAN TERNAK
UNTUK MENDUKUNG PROGRAM SAPI PERAH
 MELALUI KOPERASI

*) Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM dan Koperasi., Kementrian Koperasi dan UKM, Jakarta

Oleh:
Arora S.P

Abstrak

Produktivitas susu sapi di Indonesia relatif rendah, karena kurangnya unggas
gizi makanan. Agribisnis unggas berkembang pangan telah menjadi faktor utama 
untuk kurangnya perhatian terhadap aspek kualitas makanan unggas, di sisi lain pengembangan usaha tersebut 
terhalang oleh sistem organisasi yang diimplementasikan yang mengkoordinasikan sytem sub
. Kebanyakan pemilik susu sapi rendah dan pengusaha skala mikro, karena itu 
koperasi memiliki potensi tersebut untuk menjadi sebuah organisasi dalam agribisnis unggas pangan. 
Banyak halangan yang datang dalam memberdayakan koperasi untuk mengembangkan agribisnis unggas 
makanan bisa teratasi sejauh komitmen yang datang dari mereka yang terlibat dalam 
itu.


I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan susu dalam negeri yang dapat dipasok dari produksi dalam negeri baru mencapai 45% (360.000 ton) dari total kebutuhan 800.000 ton, sehingga sisanya masih diimpor dari luar negeri (Australia dan New Zealand, Kompas 2003).  Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka produksi dalam negeri harus ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya.  Secara nasional, sebagian besar agribisnis sapi perah merupakan peternakan rakyat yang ditangani koperasi, sehingga  sebagian besar (90%) produksi susu ditangani oleh koperasi.  Peternakan rakyat menurut data tahun 2000, populasi sapi perah sebanyak 354,3 ribu ekor dengan skala kepemilikan 3-4 ekor per KK dan produktivitas rendah sekitar 9-10 liter per ekor per hari.  Hal ini disebabkan antara lain kualitas pakan yang belum baik dan pemeliharaan yang belum optimal. Skala usaha KUD  sebagian besar (60%) kapasitas produksinya masih rendah, yaitu di bawah 5.000 liter per hari.  Skala kepemilikan sapi perah 3–4 ekor per peternak  hasilnya tidak optimal dengan produktivitas rendah berakibat kehidupan peternak stagnan, bahkan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Guna meningkatkan kesejahteraan peternak dan meningkatkan produksi susu dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu sebagaimana diuraikan di atas, dicanangkan program pengembangan agribisnis sapi perah dengan meningkatkan skala pemilikan sapi perah menjadi minimal 10 ekor per peternak. Peningkatan skala permilikan sapi perah, secara otomatis akan meningkatkan populasi sapi perah, sehingga kebutuhan pakan hijauan juga akan semakin meningkat.  Pakan hijauan guna menunjang pengembangan agribisnis sapi perah dengan perkiraan populasi sapi perah di Indonesia saat ini sekitar 455 ribu ekor merupakan potensi yang tidak kecil, apalagi dengan peningkatan skala pemilikan sapi perah dari 3-4 ekor per peternak menjadi minimal 10 ekor per peternak. Apabila diasumsikan setiap ekor sapi membutuhkan sekitar 25 kg per hari hijauan basah (dengan kandungan 87% air), setara dengan 4 kg berat kering, maka dengan populasi 445.000 ekor, kebutuhan pakan hijauan per hari 11.125 ton dan dalam satu tahun membutuhkan 4.060.625 ton, belum termasuk kebutuhan sapi potong maupun rumansia lainnya. Kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT) tersebut sulit dipenuhi oleh  masing-masing peternak, karena hanya memiliki lahan sempit dan sangat tergantung pada musim.  Apalagi dengan meningkatnya kepemilikan sapi per peternak, peternak akan menghabiskan waktu untuk pemeliharaan dan pengelolaan sapi, tidak memiliki waktu lagi untuk menyediakan pakan hijauan. Dengan kebutuhan yang besar terhadap pakan hijauan, merupakan peluang besar bagi koperasi untuk mengembangkan usahanya, sekaligus meningkatkan perannya dalam agribisnis sapi perah. Dengan masih banyaknya lahan tidur, tanah-tanah sela di antara pokok tanaman perkebunan besar maupun hutan milik Perhutani, jerami padi/jagung di daerah produksi yang belum dimanfaatkan, limbah industri, seperti kulit gabah, dedak padi/ bekatul dari penggilingan padi, dedak atau bungkil jagung dari industri minyak jagung, cangkang kernel dari industri minyak sawit, kulit coklat, dan sebagainya, yang semuanya dapat dimanfaatkan menjadi makanan ternak. tetapi tentu saja harus diproses lebih lanjut yang memerlukan teknologi dan manajemen yang handal. Koperasi dapat menangkap peluang bergerak di bidang industri pakan ini dengan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

Agribisnis pakan ternak merupakan komoditas hasil pertanian yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan oleh koperasi, sekaligus meningkatkan peran koperasi yang selama ini baru berperan dalam produksi dan pemasaran susu belum melaksanakan agribisnis pakan ternak.  Sebelum melakukan kegiatan tersebut perlu dikaji prospek maupun faktor-faktor yang terkait, seperti: 1) permintaan pasar pakan ternak; 2) teknologi budidaya pakan hijauan; 3) lokasi pengembangannya; maupun 4) kemampuan dan kemauan masyarakat melakukan agribisnis pakan ternak, khususnya pakan hijauan. Agribisnis  pakan ternak khususnya pakan  hijauan, merupakan salah satu komoditas andalan petani di daerah peternakan, memerlukan budidaya yang baik untuk meningkatkan produksinya. Produksi yang tinggi  perlu ditunjang  sistem  pemasaran yang efisien agar diperoleh pendapatan yang optimal.  Karena hijauan bersifat mudah
rusak, diperlukan pula penanganan pasca panen yang baik, sebelum sampai pada konsumen. Dengan demikian, penanganan yang baik dari  budidaya, produksi, pemanenan, penanganan pasca panen (pengolahan), dan pemasaran harus merupakan satu kesatuan manajemen, agar agribisnis pakan ternak tersebut  dapat berhasil.  Dari uraian tersebut, beberapa hal perlu dikaji dari penelitian ini, yaitu: 1) model pengembangan agribisnis pakan ternak sapi perah; 2) efektivitas dan kemampuan koperasi menangani agribisnis pakan ternak khususnya pakan hijauan.


1.2. Identifikasi, Batasan Masalah
Masalah pokok dalam meningkatkan produktifitas sapi perah a d a l a h kurang tersedia dan rendahnya kualitas pakan ternak. Masalah ini merupakan akumulasi dari berbagai masalah dibelakangnya antara lain ; a) dalam penyedian sarana produksi ; b) lahan untuk budidaya pakan ternak ; c) rendahnya produktivitas dan kualitas pakan ternak ; d) Berlebihnya HMT pada musim hujan dan kurangnya ketersediaan HMT pada musim kemarau, e) Belum dilakukannya pengolahan / penyimpanan HMT berlebih pada musin hujan serta ; e) belum adanya  kelembagaan yang menangani agribisnis HMT. Dari berbagai masalah di atas dapat dirumuskan permasalah yang dihadapi yaitu; a) Belum adanya pola agribisnis pakan ternak khususnya HMTyang efektif dan efisien; b) Belum adanya kelembagaan yang mendukung pelaksanaan agribisnis pakan ternak khususnya HMT.

1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian
Adapun tujuan dari kajian ini adalah : 1) merumuskan dan menyusun model pengembangan agribisnis hijauan makanan  ternak ( HMT) sapi perah melalui koperasi; 2) mengetahui kemampuan  koperasi dalam menangani agribisnis hijauan  makanan ternak ( HMT ) sapi perah. Manfaat yang diharapkan antara lain: 1) meningkatkan produktivitas, kualitas, daya saing, dan jaringan usaha koperasi; 2) mendukung pengembangan agribisnis ternak sapi perah.  Output yang ingin dicapai yaitu: 1) model agribisnis hijauan makanan ternak (HMT) 2) pedoman pengembangan agribisnis pakan ternak.


II KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka
Sistem agribisnis pakan ternak terdiri dari ; a) Sub sistem agribisnis hulu yaitu pengadaan sarana produksi seperti pupuk benih  dan pestisida ; b). Sub sistem Agribisnis usaha tani yaitu kegiatan budidaya ; c) Subsistem agribisnis hilir yaitu pengolahan produksi primer menjadi produk antara, maupun produk primer menjadi produk akhir dan ; d) Sub sistem pemasaran serta sub sistem penunjang khususnya kelembagaan yang dalam hal ini  adalah koperasi. Pemberian  pakan ternak  tidak terbatas pada bahan basah, tetapi juga bahan kering atau bahan yang diawetkan. Untuk itu maka  perlu dipikirkan teknologi dan biaya investasi. Mengingat skala ekonomi yang dibutuhkan dalam pembangunan pabrik pakan ternak relative besar, maka koperasi dapat difungsikan sebagai pengelola pabrik tersebut. Idealnya keempat sub sistem tersebut merupakan suatu mata-rantai yang semua aktivitasnya ditangani oleh suatu lembaga untuk memperoleh  hasil yang optimal. Kelemahan salah satu unsur akan mempengaruhi total kinerja dari sIstem, maka kelembagaan harus mampu mengantisipasi segala kondisi.

2.2. Kerangka Pemikiran
Langkah awal suatu kajian yang komprehensif dan pengujian yang akuntabel adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keberhasilan. Dari sini dirancang pola yang mampu mengantisipasi berbagai permasalahan dan pengaruh berbagai  faktor. Dengan memperhatikan tujuan antara
dan output yang ingin dihasilkan.




0 komentar:

Posting Komentar