Banjir memang salah satu masalah di kota Jakarta, setiap tahunnya bahkan setiap musim hujan pasti warga Jakarta terkena dampaknya. Belum ada yang bisa mengatasi banjir kurang lebih 80% selama wali kota Jakarta menjabat.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi DKI Jakarta menyatakan titik banjir di era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menurun. Titik banjir saat ini 35 titik, sementara sebelum kepemimpinan Joko Widodo, titik banjir di Jakarta sebanyak 75 titik. Kemudian memasuki era kepemimpinan Fauzi Bowo atau Foke, titik banjir berkurang menjadi 62 titik.
Menanggapi fakta itu, pengamat politik Ari Junaedi menyatakan hal itu membuktikan tak benarnya statemen sejumlah politisi pendukung pemerintah yang memojokkan Jokowi-Ahok akibat banjir. Misalnya Ruhut Sitompul atau sejumlah Politisi Hanura yang terus "menghantam" Jokowi. Ruhut bahkan menyebut cara "blusukan" Jokowi ternyata tidak bermanfaat untuk penanggulangan banjir di Ibukota.
Ari menyatakan gaya permainan kata-kata yang dilontarkan para politisi seperti Ruhut Sitompul dalam mensikapi banjir di Jakarta tidak lebih dari kedangkalan pola berpikir dan analisa politisi yang tidak mau belajar.
Seharusnya, politisi yang cerdas, sebelum melontarkan pendapat di depan, publik harus berpijak pada data dan fakta di lapangan, bukan karena faktor ketidaksukaan apalagi karena dendam politik.
"Sudah jelas titik-titik banjir berkurang, kenapa juga Jokowi yang disalahkan," kata Ari di Jakarta, Selasa (14/1).
Melihat kesungguhan bekerja yang ditunjukkan Jokowi-Ahok, kata Ari, semestinya dipahami oleh politisi sekelas Ruhut.
"Mungkin Ruhut lupa atau pura-pura lupa dengan prestasi Foke selama ini, yang tidak layak untuk dikenang," ujarnya.
Menurut pengajar Program S2 dan S1 UI itu, pejabat semacam Jokowi - Ahok semestinya harus didukung bukan malah dihujat. Dia menekankan, sebaiknya dilihat kesungguhan dan konsistensi Jokowi-Ahok dalam memperjuangkan warga Ibukota.
Seharusnya juga dipahami bahwa membebaskan banjir di Ibukota tidak semudah membalikkan tangan. Membebaskan banjir berarti memindahkan warga dari daerah rawan banjir.
"Memindahkan tempat tinggal berarti menyediakan rumah susun. Membangun rumah susun berarti membebaskan lahan. Semuanya butuh waktu. Andaikan Jakarta dipimpin 1000 orang seperti Ruhut pun, banjir di Jakarta tidak akan bisa diatasi. Beri waktu Jokowi - Ahok untuk membenahi Jakarta yang selama ini kadung acak-acakan di era pemerintahan sebelum Jokowi," kata dia.
Ahok Akan 'Usir' Warga yang Berada di Pinggiran Sungai
Pemprov DKI Jakarta akan "mengusir" semua warga yang tinggal di bantaran sungai. Hal ini dilakukan sebagai program normalisasi semua sungai yang membelah Ibu Kota, agar dapat rampung tahun ini.
"Usir semua orang yang dudukin pinggiran sungai untuk normalisasi. Tahun ini harus beres. Normalisasi (sungai) Pesanggrahan, Angke, dan Sunter, harus beres. Warga direlokasi ke rusun," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Balai Kota
Ahok mengakui, relokasi warga bantaran kali ke rusun bukan perkara enteng. Butuh waktu panjang. Jumlah warga yang menetap di sisi sungai juga tak sedikit. Di Sungai Ciliwung, misalnya, lebih dari 55 ribu kepala keluarga (KK) tinggal di pinggir kali.
"Nah, Ciliwung lebih panjang karena ada 55 ribu lebih KK. Kita mesti tunggu (rusun) Pasar Minggu dan Pasar Rumput, selesai. Yang kita kejar sekarang tiga dulu, Angke, Pesanggrahan, dan Sunter," ujar Ahok.
Sejumlah Politisi Kritik Pendukung Jokowi
Sejumlah Politisi menilai banjir Jakarta harus menjadi 'peringatan' bagi berbagai pihak untuk hati-hati mendorong pencapresan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo.
Wasekjen PKS Fahri Hamzah menilai, para pendukung Jokowi sebaiknya berefleksi dengan kejadian banjir yang belum bisa dicegah oleh Jokowi. Bahwa mendorong Jokowi menjadi capres hanya akan membuat situasi kerugian.
Fahri mengatakan sikap dukungan dini kepada Jokowi itu yang membuatnya cenderung menganggap dirinya berhasil sendiri hingga melawan semua pejabat negara lainnya.
“Jokowi dipanas-panasi untuk melawan DPRD, presiden, menteri maupun kepala daerah lainnya. Padahal kan tak bisa kerja sendiri, dia butuh presiden, butuh DPRD, butuh gubernur daerah lain dan bupati daerah lain.
Sekjen PPP Romahurmuzy menambahkan, Jokowi sebaiknya tidak diganggu para pendukungnya agar berkonsentrasi di bekerja di Jakarta.
"Kita harus kembali ke politik substansi bukan kemasan. Masyarakat cukup kenyang dengan politik pencitraan yang ujungnya menimbulkan kekecewaan. Saya harap hal itu jangan diulangi lagi,” katanya.
Romahurmuzy melanjutkan, belum ada hasil kerja Jokowi yang signifikan karena banjir masih terjadi. Misalnya banjir besar yang terjadi 1997 lalu masih terjadi di 2014 ini.
"Itu baru persoalan banjir belum lagi persoalan lainnya," tegasnya.
Sebelumnya, Pengamat Politik UGM Ari Dwipayana, menilai sejumlah pihak seharusnya tidak mengkritik dengan menganggap Jokowi tak konsentrasi dengan tugasnya.
Menurutnya, tidak benar apabila ada pihak yang menganggap Jokowi terganggu kerjanya hanya karena wacana pencapresan itu. Menurutnya, Jokowi justru konsisten karena fokus perhatiannya lebih dicurahkan untuk menghadapi dua soal yang paling berat di DKI Jakarta, yakni macet dan banjir.
Hal itu juga terlihat dari politik anggaran di APBD 2013 dan 2014 yang lebih banyak dialokasikan ke penanganan banjir dan macet.
"Jadi fokus jokowi bisa dilihat dari program dan alokasi anggarannya," imbuhnya.
Dorongan agar Jokowi jadi capres juga murni datang dari publik yang melihat gaya kepemimpinan Jokowi yang bekerja baik dan benar. Tipe kepemimpinan demikian justru diharapkan jadi antitesis kepemimpinan pencitraan.
0 komentar:
Posting Komentar